Mengenal Azimat Pelaris Dagang dalam Surah Al-Hajj Ayat 27
Oleh : Ahmad Zaini (220103020124). Mahasiswa Ilmu Al Quran dan Tafsir. Fakultas Ushuluddin dan Humaniora
Praktik penggunaan Azimat pelaris dagang banyak ditemui dalam kultural keislaman. Dalam praktiknya sebagian masyarakat meyakini bahwa azimat tersebutlah yang mendatangkan manfaat, padahal hal tersebut jelas menjerumuskan ke dalam ke syirikkan. Akan tetapi, kalau meyakini bahwa yang mendatangkan rezeki hanya Allah swt. maka berkah dan Ridho beliau yang didapat. Salah satu ayat yang kerap dijadikan alternatif penulisan ayat Al-Quran ini adalah surah Al-Hajj [22] 27:
وَأَذِّنْ فِي النَّاسِ بِالْحَجِّ يَأْتُوكَ رِجَالًا وَعَلَىٰ كُلِّ ضَامِرٍ يَأْتِينَ مِنْ كُلِّ فَجٍّ عَمِيقٍ
Artinya: Dan serulah manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, atau mengendarai setiap unta yang kurus; mereka datang dari segenap penjuru yang jauh.
Namun, ada sebagian orang yang meyakini ayat ini mengandung makna yang mungkin dapat mendatangkan rezeki, termasuk melariskan dagangan. Kalau dipahami hanya tekstual dari ayatnya saja bisa menyuruh uang tersebut berdatangan dan masuk dalam celengan.
Untuk tulisan Azimat pelaris ini biasanya ditaruh dalam celengan atau wadah penyimpanan uang, agar kiranya dapat menjadikan keyakinan seseorang bertambah untuk mengais rezeki dari pemberian Allah swt.
Penafsiran Para Ulama Dalam Surah Al-Hajj Ayat 27
Tafsir ayat ini secara umum mengacu pada tugas Nabi Ibrahim yang diperintahkan Allah untuk menyeru umat manusia melaksanakan haji ke Baitullah. Dalam Tafsir al-Muyassar, ayat ini menunjukkan kepatuhan Nabi Ibrahim pada perintah Allah, meski secara logis tampak mustahil karena jarak dan keadaan umat manusia saat itu.
Dalam kitab Tafsir Al-Qurtubi, jilid 12, hal. 96. Nabi Ibrahim AS. berkata “ ya Tuhan, suaraku tidak akan sampai (kepada mereka)?” Allah swt. berfirman, “serulah, dan aku yang akan menyampaikan (suaramu kepada mereka)”. “Ibrahim Khalilullah kemudian naik ke atas gunung Qubais dan berteriak, “Wahai manusia, sesungguhnya Allah telah memerintahkan kalian untuk mengunjungi rumah ini, supaya Allah telah memberikan balasan surga kepada kalian, dan menyelamatkan kalian dari Api neraka. Maka, tunaikanlah ibadah haji,”
Ibn Katsir juga menjelaskan bahwa seruan Nabi Ibrahim dijawab oleh umat manusia di berbagai penjuru dunia, baik secara langsung maupun melalui keturunan mereka. Beliau menekankan bahwa ayat ini berkaitan erat dengan ritual haji, bukan untuk tujuan lain seperti pelarisan dagangan (Tafsir Ibn Katsir, Juz 3, Hal. 514).
Dalam Islam penggunaan ayat Al-Quran sebagai jimat termasuk persoalan yang perlu dikaji hati-hati dalam menafsirkannya. Oleh karena itu, para ulama berbeda pendapat tentang hukum menjadikan ayat Al-Quran sebagai wasilah (perantara) dalam jimat. Al-Quran sendiri menegaskan bahwa keberkahan dan pertolongan datang semata-mata dari Allah swt. Dalam Q.S. Ash-Shaffa [37]:96 disebutkan:
وَاللّٰهُ خَلَقَكُمْ وَمَا تَعْمَلُوْنَ
Artinya: Padahal Allahlah yang menciptakanmu dan apa yang kamu perbuat itu. (Q.S. Ash-Shaffa [37]:96)
Ayat ini mengingatkan bahwa segala upaya manusia, termasuk usaha perdagangan, hanya akan berhasil dengan izin Allah. Maka, keyakinan pada benda tertentu sebagai sumber keberhasilan dapat mengarah pada syirik.
Alasan Mengapa Alternatif Ini Masih Dijalankan
Sebagian dari pedagang yang melakukan hal tersebut di antaranya untuk menjalankan warisan orang tua dulu dalam menjalankan syariat dagang. Tidak menutup kemungkinan, Gen Z ingin mengikutinya dan menjadikan sebagai warisan budaya betapa uniknya Quran hidup di tengah masyarakat.
Masyarakat yang masih menggunakan jimat pelaris ini biasanya sering kali berpegang pada kepercayaan tokoh ulama- ulama dahulu. Mereka merasa perlu keyakinan untuk menjalankan syariat dalam usaha mereka, misalnya dengan simbol-simbol religius, seperti ayat Al-Quran dan tulisan arab lainnya.
Pada Mata Kuliah kajian Living Quran oleh Ustaz Hanafi dosen Fakultas Ushuluddin, bagaimana suatu ayat Al-Quran itu hidup dimasyarakat. Misalnya, dari sudut pandang teori antropologi berarti memahami fenomena ini sebagai fenomena sosial-budaya, yaitu sebagai gejala yang terlihat dalam pola-pola perilaku individu-individu yang muncul berdasarkan pemahaman mereka tentang Al-Quran.
Sebagai contoh, terlihat sebuah uang kertas yang ditulisi surah Al- Hajj[27]. Ayat tersebut dimaksudkan sebagai bagian dari ritual pelarisan. Namun, secara esensial, praktik seperti ini dikatakan sebagai Paradigma Fungsional. Yaitu sebagai pelaris jualan agar pembeli berdatangan untuk membeli.
Solusi Islam terhadap Praktik Semacam Ini
Islam mengajarkan bahwa rezeki dan keberkahan hanya datang dari Allah. Rasulullah saw. bersabda:
من يرد الله به خيرا يفقهه في الدين
“Siapa yang Allah inginkan kebaikan ada pada dirinya, maka Allah akan pahamkan dia perkara agama”. (HR. Bukhari no. 71 & Muslim no. 1037)
Artinya memahami agama dengan baik, termasuk makna ayat-ayat Al-Quran adalah kunci untuk meraih keberkahan. Jadi sah-sah saja melakukan alternatif dalam syariat Islam. Terlebih lagi umat Islam dianjurkan untuk memperbanyak doa, bekerja keras, dan berserah diri kepada Allah. Salah satu doa, yang bisa diamalkan untuk keberkahan usaha adalah: Q.S. Al-Qashash [28]:24:
فَسَقٰى لَهُمَا ثُمَّ تَوَلّٰىٓ اِلَى الظِّلِّ فَقَالَ رَبِّ اِنِّيْ لِمَآ اَنْزَلْتَ اِلَيَّ مِنْ خَيْرٍ فَقِيْرٌ
Fasaqā lahumā ṡumma tawallā ilā aẓ-ẓilli faqāla rabbi innī limā anzalta ilayya min khayrin faqīr
Artinya: Maka, dia (Musa) memberi minum (ternak) kedua perempuan itu. Dia kemudian berpindah ke tempat yang teduh, lalu berdoa, “Ya Tuhanku, sesungguhnya aku sangat memerlukan suatu kebaikan (rezeki) yang Engkau turunkan kepadaku.” (Q.S. Al-Qashash [28]:24)
Semoga Allah melancarkan rezeki kita semua AMINN.