“Kemuliaan yang Tak Terlihat: Jangan Pernah Menghina Orang Lain”
Oleh : Siti Nahjah(NIM:220103020207) Program Studi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin dan Humaniora
Pernahkah kalian mendengar ungkapan bijak “Jangan pernah menghina orang lain, kita tidak tahu kedudukan seseorang di sisi Allah” atau ungkapan “Jangan pernah merendahkan orang lain, karena kita tidak akan tahu nasib orang itu kedepannya”.. ternyata pernyataan ini selaras dengan ajaran Islam. Dalam Islam, Kita diajarkan untuk tidak mengolok-olok atau menghina orang lain, karena pengetahuan yang kita miliki terbatas, kita tidak mengetahui bagaimana kelak kedudukan dan nasib seseorang.
Larangan Menghina Orang Lain
Allah berfirman dalam Q.S. Al-Hujurat ayat 11:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِّنْ قَوْمٍ عَسٰٓى اَنْ يَّكُوْنُوْا خَيْرًا مِّنْهُمْ وَلَا نِسَاۤءٌ مِّنْ نِّسَاۤءٍ عَسٰٓى اَنْ يَّكُنَّ خَيْرًا مِّنْهُنَّۚ وَلَا تَلْمِزُوْٓا اَنْفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوْا بِالْاَلْقَابِۗ بِئْسَ الِاسْمُ الْفُسُوْقُ بَعْدَ الْاِيْمَانِۚ وَمَنْ لَّمْ يَتُبْ فَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الظّٰلِمُوْنَ ١١
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olokkan itu) lebih baik daripada mereka (yang mengolok-olok) dan jangan pula perempuan-perempuan (mengolok-olok) perempuan lain (karena) boleh jadi perempuan (yang diolok-olok itu) lebih baik daripada perempuan (yang mengolok-olok). Janganlah kamu saling mencela dan saling memanggil dengan julukan yang buruk. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) fasik setelah beriman. Siapa yang tidak bertobat, mereka itulah orang-orang zalim.” (Q.S. Al-Hujurat [49]: 11)
Dijelaskan dalam Tafsir Al-Misbah (13/250-253), bahwa ayat di atas merupakan larangan melakukan ejekan atau hinaan terhadap orang lain, karena ketika kita mengejek atau menghina orang lain hal tersebut sama saja seperti mengejek atau menghina diri kita sendiri. Bahkan, tidak mustahil kita akan mendapatkan balasan berupa ejekan yang lebih buruk dari yang pernah kita lakukan terhadap orang lain. kemudian, dalam ayat tersebut Allah juga mengisyaratkan mengenai tolak ukur kemuliaan seseorang di sisi-Nya, boleh jadi orang yang kita hina tersebut jauh lebih mulia kedudukannya di sisi Allah.
Sayyid Qutbh juga menjelaskan dalam kitab tafsirnya (10/417-418) bahwa masyarakat pada setiap individunya memiliki kehormatan yang tidak boleh disentuh. Melalui ayat ini Allah mengajarkan etika yaitu melarang suatu kaum untuk tidak mengolok-olok kaum yang lain, karena bisa saja orang-orang yang diolok-olok itu lebih baik di sisi Allah dibandingkan dengan orang yang mengolok-olok. Selain itu, Sayyid Quthb juga menjelaskan bahwa salah satu bentuk mengolok-olok adalah memanggil seseorang dengan panggilan yang tidak disukai oleh pemiliknya serta ia merasa dihina dan dicela dengan panggilan tersebut.
Kisah Para Sahabat yang Sering Dihina tetapi Memiliki Kemuliaan yang Tersembunyi
Sejarah Islam telah banyak memberikan bukti mengenai hal ini. seperti kisah salah seorang sahabat Nabi, seorang muadzin pertama pada masa Rasulullah yaitu sahabat Bilal bin Rabbah. Bilal sebelumnya merupakan seorang budak berkulit hitam yang sangat dibenci dan dihina oleh masyarakat pada masa itu dikarenakan keimanannya. Bahkan ia dilecehkan dan disiksa dengan brutal oleh suku Quraisy di masa itu. Tetapi di balik semua hinaan dan siksaan yang didapatkannya, Allah mengangkat derajatnya karena keimanan dan keteguhannya (dalam Jurnal Wahana Karya Ilmiah Pendidikan: Meneladani Kisah Seorang Muadzin Pertama, Bilal bin Rabbah). Bahkan, Rasulullah saw. pernah bersabda mengenai Bilal bahwa hentakan kaki Bilal telah terdengar di surga, Rasulullah saw. bersabda dalam Terjemah Fathul Baari (6/291-292):
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللّٰهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لِبِلَالٍ عِنْدَ صَلَاةِ الْفَجْرِ: يَابِلَالُ حَدِّثْنِيْ بِأَرْجَى عَمَلٍ عَمِلْتَهُ فِيْ الْإِسْلَامِ فَإِنِّيْ سَمِعْتُ دَفَّ نَعْلَيْكَ بَيْنَ يَدَيَّ فِيْ الْجَنَّةِ ؟ قَالَ: مَا عَمِلْتُ عَمَلًا أَرْجَى عِنْدِيْ أَنَّى لَمْ أَتَطَهَّرْ طَهُوْرًا فِيْ سَاعَةِ لَيْلٍ أَوْ نَهَارٍ إِلَّاصَلَّيْتُ بِذَلِكَ الطُّهُوْرِ مَا كُتِبَ لِيْ أَنْ أُصَلِّيَ.
قَالَ أَبُوْ عَبْدِ اللّٰهِ دَفَّ نَعْلَيْكَ، يَعْنِيْ تَحْرِيْكَ.
“Dari Abu Hurairah ra, bahwasanya Nabi saw. pernah berkata kepada Bilal saat shalat fajar (subuh), ‘Wahai Bilal, ceritakan kepadaku amalan yang paling engkau harapkan dan yang engkau biasa lakukan, karena sesungguhnya, aku telah mendengar suara kedua sandalmu di depanku di dalam surga’. Bilal menjawab, ‘Tidaklah aku mengamalkan suatu amalan yang lebih aku harapkan, hanya saja aku tidak bersuci pada satu saat di malam atau siang hari melainkan aku shalat dengan hasil bersuci tersebut (shalat) yang dituliskan (diperintahkan/ditetapkan) bagiku untuk aku lakukan.” (HR. Bukhari)
Selain itu, ada pula kisah dari sahabat Nabi saw. yang bernama Julaibib r.a. yang lahir dengan keadaan fisik buruk rupa. Julaibib lahir tanpa mengetahui siapa orang tua dan seperti apa nasab keturunannya. Pada masa itu, orang yang tidak memiliki kejelasan nasab akan dianggap sebagai aib oleh masyarakat. Namun, di balik semua itu Julaibib merupakan salah satu prajurit perang Rasulullah saw. yang syahid ketika melawan pasukan kaum kafir. Bahkan, Julaibib sendiri dalam menurut berbagai cerita digadang-gadang kan sebagai si buruk rupa yang menjadi rebutan bidadari di surga. (dalam: https://rri.co.id/index.php/ramadan/625926/kisah-julaibib-siburuk-rupa-yang-jadi-rebutan-bidadari )
Dari kisah-kisah di atas, mengajarkan kepada kita bahwa kemuliaan seseorang tidak di lihat dari status sosial, fisik, atau pun presepsi manusia, melainkan diukur dari ketakwaan dan amalnya di sisi Allah. Oleh karena itulah, sebagai seorang muslim sudah sepantasnya kita untuk menjaga perbuatan kita agar tidak menghina dan merendahkan orang lain, karena hanya Allah yang mengetahui siapa sebenarnya yang paling mulia di antara kita. Hal tersebut mengingatkan kita bahwa seseorang yang terlihat sederhana di mata manusia atau bahkan dianggap hina bisa memiliki kedudukan yang mulia di sisi Allah.