“Bahilah: Penebusan Dosa Ala Urang Amuntai”
Oleh : Yunisa Enny Stirman (220103010050). Mahasiswa Studi Agama-Agama (SAA) Fakultas Ushuluddin dan Humaniora
Pagi Senin, 04 Oktober 2021. Saya menyaksikan sendiri pelaksaan bahilah untuk almarhum nenek saya Masnah binti Juraid, tidak lupa saya dokumentasikan yang saya yakini suatu saat nanti pasti berguna untuk dikenang maupun diteliti, meskipun pada saat itu saya masih duduk di kelas 11 Aliyah, sambil menyaksikan pelaksaan bahilah tersebut saya bertanya kepada tante atau acil saya “acara apa itu cil?”, lalu beliau jawab “itu bahilah namanya, tujuannya agar dosa-dosa dan amaliah almarhum nenek saya yang belum dikerjakan semasa hidup di ringankan hisabnya”. Setelah mendengar penjelasan tersebut saya terdiam dan mengangguk, dalam benak saya ini merupakan suatu hal unik yang pertama kali saya lihat, dalam proses ini terdapat beras dan emas yang menjadi simbol pengganti dosa, dan dipimpin oleh ustadz dan beberapa orang yang duduk melingkar.
Menurut Muhammad Abdurrauf Ideris Al Marbawi, dalam kamus Ideris Al-Marbawi jilid I, Mustafa Al-Babil Halabi: Mesir 1350, halaman 153. Pengertian “Helah” asalnya dari bahasa arab “حيلة ” berarti daya, tipu daya, cerdik, upaya dan akal.[1]
Bagi umat Muslim, Fenomena kematian merupakan momentum yang dianggap sangat penting dan sakral, oleh karena itu perlu dilaksanakan upacara, Sakralitas tersebut melekat erat dikalangan masyarakat Banjar di salah satu kabupaten provinsi Kalimantan Selatan, khususnya kalangan tradisionalis. Pandangan orang awam sering berpikiran bahwa yang memperbolehkan helah adalah Imam Abu Hanifah R.A. Namun pendapat tersebut, tidak benar. Karea tidak ditemukan bukti yang menunjukkan bahwa Abu Hanifah berpendapat maupun menulis kitab mengenai helah. Namun yang diketahui bahwa pengarang kitab mengenai helah yakni, Abu Yusuf beliau merupakan seorang sahabat dan murid Imam Abu Hanifah dan selanjutnya diikuti oleh jamaah atau pengikut Imam Abu Hanifah.[2]
Buktinya dapat ditinjau melalui proses upacara dalam melepaskan mayyit ke tempat abadinya di alam kubur. Salah satu tradisi yaitu bahilah dalam rangkaian upacara kematian dimaknai sebagai pembebasann tanggung jawab si mayyit terhadap segala kewajiban tidak lakukan saat hidup di dunia. Wilayah yang sering melakukan tradisi bahilah ada di daerah kabupaten Hulu Sungai sering disebut dengan Banjar Pahuluan maupun daerah Banua Anam. Tradisi bahilah muncul karena keyakinan dari mendiang bahwasanya dapat membantu meringankan beban si mayyit dari tuntutan akhirat semasa hidupnya, sama seperti manusia pada umumnya pasti membuat perbuatan baik ataupun buruk atas dasar kesadaran ataupun tidak, dan keduanya ditanggung oleh diri sendiri. Bahkan setelah manusia meninggal dunia mustahil rasanya dapat bertaubat dan menebus semua dosa-dosa maupun perbuatan buruknya semasa hidup. Pada penyelenggaraan tradisi bahilah inilah ahli waris maupun keluarganya dapat membantu, dengan bantuan mengurangi beban dosa si mayyit dan menunjukkan sikap kekeluargaan terhadap si mayyit yakni dengan melepaskan beberapa harta agar dapat menebus kesalahannya.[3]
Faktanya di kalangan masyarat terjadi berbagai macam variasi pelaksanaan ajaran agama. Perbedaan level pelaksaaan ajaran agama sering terdapat setiap waktu maupun tempat dilandasi beberapa faktor. Contohnya faktor kombinasi sub kultur islam dengan sub kultur lokal. Dari hal tersebut bahilah bisa dikatakan sebagai tafsiran lokal masyarakat Amuntai dalam konsep fidyah maupun penebusan yang tidak asing lagi dikalangan umat muslim.
Dari sini terdapat kesinambungan maupun kreasi melalui ijtihad ulama Amuntai dalam pembayaran fidyah dalam bentuk peneyelenggaraan bahilah. Dalam kitab fiqh, fidyah, mempunyai istilah ith’am, artinya memberi makan. Fidyah sering kali dijabarkan sebagai sebuah sesuatu yang diberikan kepada orang miskin, contoh pemberiannya seperti makanan, sebagai pengganti karena dia telah meninggalkan shalat dan puasa. Namun disisi lain saya bertanya kepada dosen saya yaitu. Dr. Ahmad M.Fil selaku dosen UIN Antasari, juga sering membantu tradisi bahilah ini “Rancak umpat tradisi bahilah sebagai peserta yang menerima akan, acaranya pernah mehadiri siang sebelum zuhur dan pernah juga malam, namun kerap kali siang” ungkapnya.
“dibanjar pernah umpat, di hulu sungai sering juga, namun dampak negatifnya yang pernah didengar membuat orang malas beramal, karena ada bahilah jar” tutur beliau.
Tetapi terlepas dari pro-kontra yang terdapat didalamnya, bahilah adalah salah satu dari banyaknya tradisi yang masih melekat erat terutama dikalangan masyarakat banjar pahuluan yang merupakan Suku Banjar di Kalimantan Selatan. Bahilah juga termasuk wujud nyata keluwasan pemahamanan Suku Banjar mengenai hukum Islam, yakni bertujuan agar dapat membantu si mayyit terhindar dari siksa kubur ataupun siksa diakhirat.
[1] Al-Marbawi, Mukhtasar Sahih Al-Turmudzi Wa Syarhuhu Bi Lughah al-Jawi al-Malayu al-Musammas Bahrul Mazi, (Mukhtasar Sahih al-Turmudzi Wa Syarhuhu bi Lughah al-Jawi al-Kairo: Matba’ah Mustafa Halabi wa Auladuh, 1933).hal 153
[2] Abdulhamid Karim, Kasypul Janan Fil Helati Wa’Amalid Dauran, 03 ed. (Pondok Seni Sari Murni, 1987). Hal 18.
[3] M. Zainal Abidin, “TRADISI BAHILAH PADA MASYARAKAT BANJAR PAHULUAN,” AL-BANJARI, 2012. Hal 43.